oleh: Ust. Salim A. Fillah.
Futhuhat Nusantara dimulai dari perjalanan Ibnu Bathutah. Sesampainya di nusantara beliau menyusun sebuah catatan perjalanan.
Ibnu Bathutah menceritakan sebuah pulau yang sangat lebat pepohonannya yang mengingatkan beliau kepada Andalusia, sehingga pulau tersebut dijuluki Andalas (Sumatera).
Perjalanan beliau ke timur mempertemukan beliau pada pulau Yawaddi (Jawadwipa/Jawa). Ke timur lagi, beliau menceritakan tentang pulau yang wangi dan sumber rempah-rempah dan pada pulau itu terdapat banyak sekali raja-raja kecil, sehingga dinamai Jaziratul Muluk (Maluku). Semakin ke timur beliau sampai di pulau yang mana penduduknya telanjang, sehingga dijuluki Jaziratul 'Uryan (Irian).
Catatan Ibnu Bathutah dibaca oleh Sultan Muhammad I (kakek Muhammad al-Fatih) dengan membuat perencanaan untuk datang ke Nusantara.
Di Pulau Yawaddi (Jawa) di mana penduduknya bercocok tanam hanya dengan bergantung pada hujan, maka Sultan mengirim seorang 'alim ('ulama') ahli irigasi: Maulana Malik Ibrahim.
Di Pulau Yawaddi, penduduknya dikenal suka menyembah pohon, hutan, gunung dan percaya dukun sakti, maka Sultan mengirim seorang ahli ruqyah: Maulana Maghribi I asal Maroko. Karena Maulana Maghribi I ingin masuk ke pedalaman namun tidak bisa makan nasi, maka beliau dibekali tepung beras untuk membuat roti. Beliau mendapatkan julukan Ki Ageng Gribik (di Klaten) dan setiap tahun haulnya dirayakan dengan membagi-bagikan roti yang dahulu sering beliau lakukan, yaitu apem. Maulana Maghribi I ini bertubuh besar dan kelak dikarakterkan sebagai Semar oleh Sunan Kalijaga.
Lalu dikirim 'alim Maulana al-Baqir (dikenal dengan nama Jawa Syeikh Subakir) seorang ahli antroplogi dan beliau membuat perencanaan pembangunan kota. Maulana al-Baqir ini berperawakan kurus dan mancung dan kelak akan dikarakterkan sebagai Petruk, beliau wafat dan dimakamkan di Merapi.
Pada saat itu Majapahit buruk secara administrasi (tata negara), maka Sultan mengirim seorang 'alim ahli tata negara Maulana 'Ali Rahmatullah, dikenal di Jawa dengan nama Raden Rahmat dan beliau membangun akademi tata negara di Ampel. Di sana banyak pangeran Majapahit yang dikirim untuk belajar dan beliau dikenal dengan nama Sunan Ampel. Sunan Ampel menikah dengan putri dari kerajaan Campa >> Jeumpa >> Aceh. Kelak kerajaan Jeumpa akan bersatu dengan Samudera Pasai, Pidie, dll membentuk Kesultanan Aceh Darussalam.
Kerajaan Majapahit krisis tentara, maka Sultan mengirim 'alim trainer ketentaraan, ahli perang yang dikenal di Jawa sebagai Sunan Ngudung (nama asli beliau masih dilacak). Beliau memiliki anak bernama Maulana Jafar Ash-Shaddiq. Mereka berasal dari Palestina dan kelak beliau mendirikan kota Quds yg saat ini lebih dikenal nama Kudus dan mendirikan Masjid Al-Aqsha Menara Kudus.
Begitu seterusnya hingga berdirilah kesultanan yang bernama Kesultanan Demak. Demak-lah yang berhasil mengirim 300 kapal perang untuk berjihad di Selat Malaka. Raja-raja Demak sangat zuhud. Rumah mereka tidak berbeda dengan rumah rakyat, yaitu berasal dari kayu. Hal ini menyebabkan hingga saat ini belum ditemukan istana raja Demak.
Raja-raja Demak sangat mencurahkan perhatian dalam pembangunan masjid. Hal ini kontras dengan Majapahit yang kala itu semakin bobrok namun para pejabatnya masih bermewah-mewah dan menindas rakyat.
Dari Demak-lah muncul tim dakwah yang dikenal dengan nama Walisongo. Tim ini dalam waktu kurang dari 50 tahun berhasil meng-convert sebuah imperium Hindu menjadi Islam dari pemegang kekuasaan hingga rakyat-rakyatnya.
Jawa, Banjar, Palembang, Jambi adalah wilayah kekuasaan Demak kala itu. Namun begitu, kemashyuran Demak sampai ke Ternate dan banyak raja-raja Ternate yang berguru ke Demak. Sultan Tidore, Goa & Tallo, Wajo, Bone, Luwuk datang semua ke Demak untuk belajar Islam.