Sabtu, 06 Februari 2016

Efek ekonomi kapitalisme


Setahun terakhir, langit di atas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam di balik gedung-gedung raksasa yang menjulang di sana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati). Berita terakhir menyatakan Toshiba merugi lebih dari 1 Milyar USD

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : HARMONY CULTURE ERROR
Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : SENIORITY ERROR
Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : OLD NATION ERROR
Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia di atas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat.

Faktor 4: BUSINESS CLIMATE CHANGE
Jepang gagal mengikuti perubahan iklim bisnis dan perilaku konsumen yang makin lama makin cepat, sangat dinamis, sangat customize, dan sangat personalize.

So bagaimana dengan Kinerja & Etos Kerja di Negara Kita tercinta ?

Sumber: analisa kadin

Data  perekonomian dibeberapa negara ASEAN:

- lebih dari 1.000 warga Filipina sejak Oktober 2015 telah mengikuti kursus Bahasa Indonesia dan pada Maret 2016 akan diberi pelatihan tentang penggunaan GPRS serta belajar Kebudayaan Indonesia untuk disiapkan menjadi SOPIR TAKSI di Indonesia.

- Ratusan pebisnis dari Thailand telah mengikuti kursus kilat bahasa Jawa untuk bisa masuk berbisnis di Jawa tanpa perantara.

- Di Vietnam, Ribuan Guru sedang melaksanaan kursus Bahasa Indonesia dan Budaya Indonesia agar bisa membuka Les Private Bahasa Inggris dan Mandarin di Indonesia.

- Ratusan Konsultan Keuangan dan Akuntan di Singapura yang tidak terserap lapangan pekerjaan di Singapura sedang belajar Khusus Budaya Jawa, Bali dan NTB untuk bisa mendirikan Lembaga Konsultan Keuangan pada wilayah tersebut.

- Ribuan warga Miyanmar mulai Febuari 2016 membuka pelatihan Montir kendaraan bermotor dan Service HP untuk penempatan di Indonesia.
Lalu, apa yang sudah dipersiapkan oleh Pemerimtsh RI untuk bersaing dengan mereka di Negeri sendiri?

Atau bersiap hijrah ke negeri mereka dengan berbekal kemampuan?
Atau kabur berhijrah tanpa bekal dan ketika pulang  Tanah dan (mungkin) Rumah kita sudah dibeli oleh warga asing?.

0 komentar :

Posting Komentar